Sejumlah pakar dari negara lain memprediksi nasib demokrasi Indonesia jika Prabowo Subianto menjadi presiden.
Indonesia telah menggelar pemilihan umum (Pemilu) termasuk memilih calon presiden dan wakil presiden pada Rabu (14/2).
Dari laporan sejumlah lembaga survei, Prabowo dan pasangannya Gibran Rakabuming unggul telak versi quick count atau hitung cepat.
Berikut prediksi dari tiga pakar asing jika Prabowo menjadi presiden.
Demokrasi Indonesia hancur?
Peneliti senior untuk studi Asia Tenggara dari lembaga think tank Council on Foreign Relation (CFR) Joshua Kurlantzick menilai Prabowo bisa saja memimpin negara secara otoriter jika menjadi presiden.
Prabowo, kata dia, memiliki hubungan dekat dengan seluruh angkatan bersenjata dan menampilkan dirinya sebagai pemimpin otokratis di masa lalu.
“Dia bisa menghancurkan demokrasi Indonesia dan memerintah seperti otoriter,” tulis Kurlantzick.
Dwi Fungsi ABRI kembali?
Sementara itu, profesor politik Asia Tenggara dan masalah keamanan dari National War College di Washington, Zachary Abuza, menilai kondisi Indonesia kian buruk di bawah kepemimpinan Prabowo.
Mantan anggota militer yang menjadi pemimpin negara, lanjut dia, bisa menjadi tanda kembalinya masa kelam pemerintahan otoriter.
Dia lantas membandingkan masa Presiden saat ini Joko Widodo (Jokowi) yang dikelilingi banyak jenderal Angkatan Darat.
“[Dia] punya kecenderungan ‘mengamankan’ banyak masalah seperti pandemi (virus corona), tetapi keadaan bisa menjadi lebih buruk di bawah kepemimpinan Prabowo,” kata Abuza.
Dia menduga Prabowo akan memasukkan para pensiunan militer untuk menjadi penasihat dan pejabat kabinetnya.
“Namun kekhawatiran yang lebih besar adalah bahwa ia akan mempercepat kembalinya militer,” ujar Abuza.
Pada Oktober lalu, publik menyoroti pengesahan Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dilakukan DPR.
Dalam UU itu, ASN boleh mengisi jabatan di lingkungan TNI dan Polri begitu juga sebaliknya.
“Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,” demikian bunyi pasal 19.
Ketentuan tersebut akan diatur lebih rinci dalam peraturan pemerintah (PP).
Sejumlah pihak terutama organisasi pemantau HAM menilai UU itu melawan semangat reformasi yang menghendaki penghapusan Dwi Fungsi ABRI.
Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto menerapkan Dwi Fungsi ABRI yang membuat militer memiliki kekuatan sosial politik.
Bersambung ke halaman berikutnya…