TEMPO.CO, Malang – Aliansi Masyarakat Sipil di Malang mendeklarasikan diri menolak RUU Penyiaran. Aliansi yang terdiri atas jurnalis, akademikus, mahasiswa, kreator konten dan pegiat antikorupsi iyu menilai RUU Penyiaran mengancam demokrasi.
Deklarasi diikuti sekitar 40-an orang usai membedah RUU Penyiaran bertema “Menyuarakan Kebenaran atau Mengekang Pelantang?” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang di Maliki Plaza, Kota Malang, Kamis, 30 Mei 2024.
Bedah RUU Penyiaran itu menghadirkan pemantik, pakar hukum tata negara Universitas Widya Gama Anwar Cengkeng, dosen komunikasi Universitas Negeri Malang Akhirul Aminullah, dosen hukum Universitas Islam Malang M. Fachrudin, dan pegiat film dari kampung film Glanggang, Pakisaji, Sudjane Kenken. “Indonesia memasuki autocratic legalism,” kata dosen hukum Universitas Islam Malang, M. Fachrudin.
Autocratic legalism, katanya, menggunakan hukum untuk melegitimasi tindakan-tindakan yang tidak demokratis. Hal itu dibuktikan dengan banyak produk peraturan perundang-undangan dibuat untuk kepentingan penguasa, bukan untuk kepentingan rakyat. RUU Penyiaran tidak melibatkan partisipasi publik.
Menurutnya, seharusnya dibuka ruang partisipasi dan pertimbangkan masukan dari masyarakat yang terkait dengan penyiaran, seperti jurnalis, pengelola media siaran dan kreator konten. Sesusai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan Perkara Nomor 103/PUU-. XVIII/2020, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus melibatkan masyarakat atau meaningful participation.
RUU Penyiaran menjangkau lebih luas, tak hanya mengatur media berbasis frekuensi seperti radio dan televisi, namun juga mengatur platform digital siaran seperti YouTube, Tiktok dan Instagram. Subjek hukum dalam RUU Penyiaran tak hanya lembaga siaran berbadan hukum tapi juga perseorangan.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberi kewenangan mengeluarkan tanda lulus kelayakan siaran. “Saya juga bisa kena, punya akun YouTube, jika semua konten harus lapor ke KPI. Kebenaran itu distandarisasi oleh negara melalui KPI,” katanya.
RUU Penyiaran juga merugikan publik karena melarang tayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Padahal, laporan investigasi mampu membongkar kejahatan yang merugikan kepentingan publik. RUU Penyiaran juga mengubah ketentuan mengenai wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perubahan menjadi isi siaran jurnalistik harus sesuai dengan pedoman perilaku penyiaran dan standar isi siaran.
“Civil society harus mengawal. Jejaring akademisi, NGO harus segera merumuskan agenda untuk mencegah aneka pasal selundupan. Jangan sampai berakhir dengan mundurnya demokrasi,” kata Fachrudin.
Fachrudin mendesak RUU Penyiaran dibatalkan karena merugikan rakyat. Apalagi, banyak undang-undang yang bermasalah seperti UU KPK, UU Cipta Kerja, disusul RUU MK, RUU Polri dan RUU TNI. Peraturan perundang-undangan tersebut, katanya, menjadi tanda kehadiran rezim totaliter.
Dosen komunikasi Universitas Negeri Malang Akhirul Aminullah menilai RUU Penyiaran justru menjadi alat pembungkaman seperti rezim Order Baru. Penyiaran dikontrol, dikendalikan melalui KPI. Selain itu, sengketa isi siaran yang dilakukan KPI justru mengerdilkan fungsi Dewan Pers. “Sesuai UU Pers, sengketa jurnalistik kewenangan Dewan Pers,” katanya.
Jangan-jangan, kata Akhirul, penguasa ketakutan dengan peran pers sebagai pilar keempat demokrasi. RUU Penyiaran, berpotensi menjadi rezim otoritarian dengan mengebiri pers.
Iklan
Sineas Sudjane Ken menilai platform digital sepeti YouTube dan layanan Over The Top (OTT) sebagai wadah kreator audio visual. Banyak yang diuntungkan dengan platform tersebut. Secara ekonomi, mereka mendapat pemasukan dari platform tersebut. Sedangkan kehadiran KPI yang berwenag mengeluarkan tanda lulus kelayakan siaran akan mengancam mereka.
“Jika RUU Penyiaran lolos, akan banyak pengangguran. Banyak kreator konten yang bakal kehilangan pekerjaan,” ujarnya.
Padahal, setiap sineas memiliki motivasi dan pesan dalam film yang diproduksinya. Bahkan, sejak menulis skenario mereka juga melakukan swasensor. Kenken yang juga mendirikan kampung film Glanggang ini mengisahkan Lembaga Sensor Film (LSF) menobatkan Glanggang sebagai kampung sensor mandiri. Kenken juga menyosialisasikan karya film dengan konsep swasensor.
Sedangkan, selama ini LSF menyensor, dan memotong film tanpa keterlibatan dan persetujuan pembuat. Kenken sejak tiga tahun terakhir memberikan edukasi film kepada khalayak secara cuma-cuma. Kenken juga membangun jejaring dengan sineas. “Kita harus kawal RUU Penyiaran sesuai kapasitas,” ujar Kenken.
Pakar hukum tata negara sekaligus Rektor Universitas Widya Gama Anwar Cengkeng menilai UU Pers lahir setelah reformasi, secara filosofi untuk memenuhi kebutuhan informasi rakyat. Pers hadir untuk kepentingan rakyat. Sedangkan saat Orde Baru, pers dikontrol. “Media yang kritis seperti Detik, Tempo dan Editor dibredel,” katanya.
Secara subtansi dan material, RUU Penyiaran bertentangan dengan UU Pers sebagai lex spesialis. Jika dipaksakan, RUU Penyiaran secara formil cacat hukum. Untuk melihat sistem politik sebuah negara bisa dilihat dari UU Pers. “Jika pemerintah otoritarian maka akan membat UU Pers yang sejalan dengan pemerintah yang otoritarian,” katanya.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhamadiyah Malang Sugeng Winarno menilai sejumlah pasal disusupkan dalam RUU Penyiaran membuat KPI sebagai lembaga superbodi. Sedangkan selama ini tidak banyak berperan, hanya memberikan teguran. Sedangkan di negara maju, sensor dilakukan oleh media watch atau lembaga pemantau media.
“Jika ada tontonan yang tak bagus akan diboikot, tidak ditonton,” kata Sugeng. Seperti rakyat Australia berdemo, setelah Pemerintah Australia mengurangi anggaran untuk lembaga penyiaran publik Australia (ABC ). Sehingga, publik merasakan jika media tersebut memenuhi kepentingan publik.
Badan Legislasi (Baleg) DPR saat ini telah mengembalikan draf RUU Penyiaran kepada Komisi I DPR lantaran RUU Penyiaran dinilai menimbulkan kontroversi.
Pilihan Editor: Gibran Bingung Kepala Daerah Tak Hadir saat Rembug Pembangunan Jawa Tengah 2024 di Solo