TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Majelis Permusyawaratan (MPR) Rakyat Ahmad Muzani tak mempersoalkan besarnya gelombang penolakan terhadap pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI atau revisi UU TNI.
Muzani mengatakan, penolakan proses pembentukkan peraturan terutama undang-undang merupakan hal yang lumrah terjadi di negara dengan sistem pemerintahan demokratis. “Penolakan, kritik. Saya kira itu hal yang biasa,” kata Muzani di komplek Parlemen Senayan, Senin, 17 Maret 2025.
Meski begitu, Muzani mengklaim jika Komisi bidang Pertahanan DPR bakal menyusun perubahan undang-undang tersebut secara rigid dan pro rakyat. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra itu meminta usulan dalam revisi UU TNI seperti mengenai perluasan penempatan prajurit aktif di jabatan sipil, tidak perlu dipersoalkan.
“Kalau Presiden menyetujui saya kira tidak ada masalah. Yang penting, Presiden kemudian memberikan persetujuan dan yang bersangkutan pensiun dari dinas kemiliteran,” ujar dia.
Adapun sejak digulirkan pembahasannya pada medio Februari lalu, revisi UU TNI terus memperoleh penolakan. Publik khawatir revisi ini berupaya mengembalikan dwifungsi militer.
Teranyar, penolakan revisi UU TNI disampaikan melaui pengisian petisi di laman Change.org. Petisi ini diinisiasi oleh Imparsial bersama ratusan pegiat demokrasi dan lembaga nonpemerintah.
Hingga pukul 15.12 WIB, 17 Maret 2025, sudah ada 7.060 penandatangan petisi yang menolak kembalinya dwifungsi TNI melalui pembahasan revisi UU TNI.
Dalam rincian petisi, Imparsial mengatakan terdapat pasal-pasal yang bisa mengembalikan militerisme di Indonesia dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) revisi UU TNI yang disampaikan pemerintah kepada DPR, 11 Maret 2025.
“Kami menilai agenda revisi UU TNI tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah yang profesional. Justru akan melemahkan profesionalisme militer,” kata Imparsial dalam petisi tersebut, dilihat Tempo pada Senin, 17 Maret 2025.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengaku memahami munculnya gerakan penolakan revisi UU TNI ini. Namun, ia meminta agar masyarakat lebih jeli dalam menjaring dan mencerna informasi yang beredar di media sosial.
“Penolakan di media sosial itu substansi dan masalah dari Pasal yang ada tidak sesuai dengan yang dibahas,” kata Dasco dalam konferensi pers di komplek Parlemen Senayan, Senin, 17 Maret 2025.
Dasco menegaskan, dalam prosesnya hanya tiga Pasal yang kemudian diakomodasi masuk ke dalam revisi UU TNI. Ketiga Pasal itu adalah Pasal 3, Pasal 47, dan Pasal 53.
Menurut dia, secara prinsip dan tujuan, pembahasan ketiga Pasal itu dilakukan sebagai bentuk penguatan internal TNI, serta upaya mengakomodasi ketentuan yang ada di UU instansi lain, misalnya ihwal penempatan militer aktif di jabatan sipil.
“Bahwa kemudian ada berkembang tentang dwifungsi, saya rasa kalau sudah lihat Pasalnya akan lebih paham,” kata Ketua Harian DPP Partai Gerindra itu.
Pilihan editor: Penjelasan Terbaru Istana tentang Revisi UU TNI