Jakarta, CNN Indonesia —
Sejumlah pihak mendesak negara dalam hal ini pemerintah melakukan penindakan tegas dan berani membubarkan organisasi masyarakat (ormas) yang bertingkah premanisme.
Pembubaran tersebut dinilai bukan hal yang tabu sebab diatur dalam peraturan perundang-undangan. Mekanisme pembubaran ormas memang sempat menuai polemik di masyarakat. Pasalnya, pembubaran ormas yang awalnya lewat mekanisme hukum atau pengadilan, kini bisa hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah.
Mengacu pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat, pembubaran ormas dilakukan melalui pengadilan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Permohonan pembubaran ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) diajukan ke Pengadilan Negeri oleh Kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Permohonan pembubaran ormas diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan tempat domisili hukum ormas dan panitera mencatat pendaftaran permohonan pembubaran sesuai dengan tanggal pengajuan.
Akan tetapi, setelah terbit Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, mekanisme itu diubah sehingga pemerintah bisa membubarkannya tanpa lewat putusan pengadilan.
Ormas bisa dibubarkan apabila mendapat sanksi administratif karena melakukan kegiatan-kegiatan yang dilarang sebagaimana diatur dalam Perppu 2/2017.
Kegiatan yang dilarang tersebut di antaranya meliputi melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial, serta melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penangkapan solusi jangka pendek
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Josias Simon mengapresiasi langkah cepat kepolisian menangkap premanisme yang banyak dari mereka merupakan bagian dari ormas. Namun, hal itu hanya solusi jangka pendek dan belum cukup untuk memberantas premanisme di Indonesia.
“Menurut saya sih untuk jangka pendek masih bisa kita apresiasi karena kan banyak juga yang preman-preman yang memang lebih individual ya, kelompok-kelompok yang memang mengganggu Kamtibmas dan sudah lama kurang digubris lah ya dari hukum kemudian Pemkot dan segala macam. Nah ini ada efek, tadi ya efek shock therapy-nya buat mereka,” kata Simon saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (27/5).
“Cuma memang efek berikutnya dengan jangka menengah dan jangka panjangnya itu yang perlu dipertanyakan apakah berlanjutan atau tidak,” imbuhnya.
Simon berharap apa yang sedang dilakukan negara melalui aparat penegak hukumnya saat ini bukan sekadar basa-basi. Dia menagih kontinuitas negara dalam upaya mengentaskan premanisme.
“Memang butuh gerak cepat ya dari pihak-pihak penegak hukum maupun pemerintah daerah, tapi juga ada yang memang sifatnya ini terkait dengan bagaimana eksisnya satu organisasi tertentu ya yang masuk dalam wilayah-wilayah premanisme begitu. Itu yang perlu di-identifikasi ya. Saya rasa sudah di-identifikasi,” ucap Simon.
“Tapi, tindak lanjutnya seperti apa? Tinggal masalah ketegasan saja dari perintah ‘negara enggak boleh kalah dari preman’. Ini masalah implementasi sih menurut saya,” sambungnya.
Simon menyatakan pemerintah tak hanya sekadar lips service untuk memberantas ormas berkedok premanisme. Dia berharap upaya yang dilakukan itu tak sekadar sebagai proyek politik belaka.
“Tidak bisa hanya diselesaikan dengan aparat penegak hukum. Terkait dengan proses legislatif, proses-proses perizinan dan segala macam, ini juga yang harus menjadi perhatian bersama,” pungkas Simon.
Pembekuan ormas kriminal
Kriminolog FISIP UI Iqrak Sulhin menambahkan pembekuan ormas dapat dilakukan apabila terbukti ada tindakan mengarah pada kriminal dan terjadi dalam waktu yang lama.
“Pembekuan semakin beralasan bila sebelumnya telah ada peringatan atau teguran dan tidak diindahkan,” kata Iqrak kepada CNNIndonesia.com, Selasa (27/5).
Namun demikian, menurut dia, tindakan represif dengan menangkap preman-preman dalam ormas diperlukan dalam situasi sekarang di mana laku mereka sudah sangat mengganggu masyarakat.
“Tindakan represif dapat menjadi terapi kejut dan simbol ketidaksukaan masyarakat terhadap aksi-aksi premanisme. Namun, cara ini tidak akan efektif bila tidak dipadukan dengan upaya mengatasi akar persoalan premanisme, dan apa yang selama ini menjadi faktor yang menyebabkan premanisme ini bertahan lama,” kata dia.
Iqrak menjelaskan akar persoalan premanisme sangat berkaitan dengan struktur kesempatan (akses) ekonomi di masyarakat.
Banyak dari mereka adalah pihak yang kesulitan di dalam mendapatkan pekerjaan atau akses terhadap kegiatan produktif lainnya. Mengatasi akar premanisme karenanya sangat berkaitan dengan kebijakan sosial makro pemerintah.
“Premanisme berkedok ormas ini dapat bertahan lama salah satunya karena adanya hubungan mutualisme dengan elit, untuk kepentingan ekonomi dan politiknya. Untuk memutus hubungan mutualisme ini, negara (Polri, Kementerian Dalam Negeri) harus berani turun tangan langsung,” kata Iqrak.
Peneliti Murdoch University, Australia, Ian Douglas Wilson, mengatakan penangkapan secara masif anggota organisasi masyarakat (ormas) yang melakukan tindakan melanggar hukum tak cukup untuk memberantas premanisme di Indonesia.
“Ini seperti saya anggap mungkin seperti ritual gitu ya, bahwa ada perintah dari atas dan Polisi langsung, kami siap berantas pak, tangkap orang,” kata Ian saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (16/6).
(ryn/dal)