JAGAT sinema Indonesia, khususnya bioskop komersial akan semakin beragam dengan diisinya pelbagai genre film, terutama film B-Horror berjudul Darah Nyai karya sutradara Yusron Fuadi. Film jagal torture diproduksi Imaginarium Pictures ini akan tayang pada 21 Agustus mendatang.
Pilihan Editor: Antrean Penayangan Film di Bioskop Indonesia Terlalu Panjang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penulis naskah sekaligus produser film, Hikmat Darmawan, menggandeng sutradara Azzam Fi Rullah ke jajaran penulis untuk meracik Darah Nyai sebelum diserahkan kepada sutradara. Azzam sendiri aktif menjadi sutradara sejumlah film pendek B-Horror dengan semangat independen.
Dalam wawancara dengan Tempo di Kantor Tempo, Jakarta Selatan pada Rabu, 23 Juli 2025, Hikmat Darmawan menceritakan proses penggarapan Darah Nyai, pemilihan estetika bertutur juga visual, serta gerakan film B-Horror sendiri yang salah satunyta rentan dengan seksualitas dan ketubuhan, dan proses mengatasinya.
Bagaimana awal muncul ide dan proses yang akhirnya memutuskan kalian membuat film Darah Nyai?
Berawal dari kesenangan bersama, lalu saya bertemu dengan tim terutama Azzam Fi Rullah, sutradara film-film B-Horror yang karyanya nyaris seperti gerakan estetika sendiri. Saya juga mengenalnya karena dia bikin komik di Kolong Sinema, sementara saya aktif meneliti komik. Jadi cara kerja Azzam cocok baik estetika maupun modal produksinya. Kemudian produser Rayner Wijaya menyarankan untuk sutradaranya Yusron Fuadi, yang menggarap film horor fiksi ilmiah, Tengkorak (2017) dan Setan Alas (2023). Yusron termasuk berani sebagai sutradara dari segi tematik, karena film sebelumnya itu mengangkat fiksi ilmiah namun ada unsur mitologinya. Dia sutradara yang sangat ambisius dengan mengerjakan filmnya secara independen.
Lalu apa yang melatarbelakangi kalian membuat film dengan bentuk seperti film Darah Nyai?
Kami memang mau bikin film kecil secara desain dan targetnya pasar C dan D. Walaupun pasar B mungkin bisa menikmati, tetapi fokus kami sesuai modal memang menghasilkan film B-Horror.
Perihal pemilihan temanya seperti apa prosesnya?
Saya mengusulkan tema tentang mitologi Nyai Roro Kidul, dan judul Darah Nyai menurut kami lebih sampai ke publik. Namun bukan berarti kami menghilangkan Nyai Roro Kidulnya, kami perkuat dari segi pembahasan, karena Nyai ini kan tokoh yang umumnya diterima secara peyoratif namun juga secara terhormat, sosok yang heroik. Ini pendekatan yang tepat menampilkan perempuan yang kuat.
Naskah film ini Anda yang menulis bersama Azzam. Lalu bagaimana proses kalian bekerja sama dalam penulisannya?
Saya menulis naskah filmnya bersama Azzam dan yang menariknya, cara berpikirnya sangat sutradara, dalam artian dia mampu memberikan saran-saran yang langsung bisa dibayangkan saat proses syutingnya ke depan. Kemudian saya menawarkan ke Yusron referensi filmnya itu Hong Kong tahun 1990-an misalnya Naked Killer (1992), baik dari segi warna yang didominasi warna-warna kuat hingga pergerakan kamera.
Lalu seperti apa proses membangun narasi dalam film saat masih dalam bentuk naskah?
Ceritanya tak neko-neko, langsung masuk ke urusannya dan tidak terlalu rumus, namun dengan gaya Torture Horror, yang awalnya kami ingin slasher. Kemudian sutradara yang mengolah adegan-adegan penyiksaan di film ini. Namun selama proses syuting, Yusron ternyata membangun suasana beberapa dialog dan adegan dengan terlebih dahulu diskusi bersama pemerannya.
Misalnya seperti apa saja?
Misalnya ada beberapa dialog yang kemudian saya suka karena diskusinya valid saat pemeran Nyai Jessica dan pemeran Rara merasa keberatan dengan satu adegan yang dinilai tak akan bekerja. Mereka mengusulkan dan akhirnya jadi salah satu dialog favorit saya dalam film ini.
Untuk keputusan mengangkat isu tertentu pertimbangannya apa saja? Apakah ada dari isu-isu yang sedang terjadi?
Isu perdagangan perempuan sesuatu yang berkembang di dalam film ini. Misalnya laporan 2017 sampai Oktober 2022 itu kasus yang dicatat tentang perdagangan manusia itu ada sekitar 2300, nyaris 51 persen anak-anak, 46 persen perempuan, dan hanya 2 persen laki-laki. Tapi kami tidak berangkat pertama-tama dari isu, kiasannya sebenarnya sederhana tapi kemudian ada semangat balas dendam dan sisa filmnya menjabarkan bagaimana balas dendam itu terjadi.
Referensi film-film Hong Kong tahun 1990-an kan mempengaruhi gerakan kamera dan warna dalam film ini. Namun bagaimana dengan penggunaan bahasa dalam film?
Kami mempertahankan bahasa di film-film tahun 1980-1990-an dengan bahasa lawas yang jarang didengar. Misalnya kata “telengas”, itu sudah tak karib lagi di kuping. Ini mendukung adegan siksaannya. Ada empat adegan siksaan para bajingan telengas. Gaya bahasa seperti ini mungkin bisa kita lihat di filmnya Suzzana (Ratu Ilmu Hitam).
Pergerakan film horor saat ini kan cukup masif, jadi apa yang membedakan film ini dengan film horor lainnya?
Film horor sadis yang bisa dirasakan nikmatnya karena ceritanya membalaskan dendam yang berangkat dari perempuan. Saya merasa hidup ini dikelilingi hal-hal yang membuat marah dan butuh penyaluran. Dalam sejarah sinema, film horor salah satu katarsis yang boleh dikatakan sehat untuk menyalurkan amarah itu.
Apa saja tantangan membuat film B-Horror dengan nuansa torture seperti ini?
Walaupun jebakannya yang diingatkan oleh Azzam waktu bikin itu adalah kritik feminis atau kajian perempuan terhadap film-film rape revenge bahwa perempuan baru kuat atau bangkit setelah diperkosa. Kami tidak mau masuk ke situ jadi dari awal kami diskusikan bahwa pembalasan yang dilakukan perempuan bentuknya dari alam melalui karakter Rara dengan wahana orang lain. Karena kalau perempuan baru berdaya setelah diperkosa itu sifatnya male gaze. Jadi kami berusaha dalam proses pembuatan kami ada banyak kesulitan. Kami bilang melawan patriarki itu proses yang panjang dan semua lagi belajar juga.
Perihal male gaze tentu bukan hanya soal bertutur narasinya, melainkan juga secara visual. Bagaimana mengatasi ini, terutama dalam film bernuansa torture seperti Darah Nyai?
Sebetulnya, dalam menjaga itu ada di wilayah produksi, misalnya, intimacy coordinator itu sebetulnya belum lazim sampai sekarang, masih cuma dua orang yang bersertifikasi (Putri Ayudya dan Runny Rudiyanti). Tapi, waktu itu sempat diantisipasi misalnya, saya menyediakan seorang dosen tari yang sudah terbiasa, mengingat film ini sangat ketubuhan seksualitas maupun penyiksaan. Jadi, penting sekali ada mata koreografer di awal. Jadi, pas lagi proses ada itu dan sekalian saya bilang, “kan kamu terbiasa dengan itu jadi tolong sekalian jagain.”
Dari situ sudah terpenuhi kebutuhan intimacy coordinator?
Dalam prosesnya, pemeran menganggap itu tak memadai jadi kami cari lagi intimacy coordinator tapi beberapa hal terpaksa dilakukan secara online. Tapi, intinya kami mencoba memenuhi kebutuhan ini. Saya cukup puas karena kami semua akhirnya belajar selama syuting, jadi semuanya terbuka terhadap ruang aman. Namun namanya kerja sangat intensif pasti ada beberapa komplikasi.
Itu tadi perihal penerapan saat proses syuting, dalam hal hasil visualisasinya seperti apa?
Dalam hal gaze hasil akhir visualisasi memang risikonya besar, apalagi kami mengaku film ini memberdayakan perempuan padahal penulis dan sutradaranya laki-laki semua. Tapi dalam prosesnya seperti tadi, selalu ada masukan dan peran aktif dari pemeran. Sejauh ini menurut saya lumayan ukurannya dari para penonton perempuan. Semoga ini universe-nya berkembang dan kami bisa lanjut terus dan hal semacam ini semakin kami sempurnakan setelah saling belajar tadi. Tapi mungkin yang merasa ngeri saat menonton itu laki-laki ya, karena karakter perempuan di sini menyiksa laki-laki saja.
Bagaimana prosesnya dengan Lembaga Sensor Film, mengingat ini film B-Horror dan kalian mengerjakannya juga dengan semangat independen?
Saat ini peran LSF lebih banyak mengakomodasi film Indonesia. Ada tiga versi, yang asli dari sutradara, kemudian versi usia 21 ke atas yang ditayangkan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival, dan versi usia 17 ke atas yang akan tayang di bioskop. Tapi saat itu saya sebagai produser sempat berdebat juga dengan sutradara karena yang bisa ditayangkan versi usia 17 tahun ke atas. Pertimbangan saya soal peluang bisa masuk ke pasar lebih luas tapi tidak terlalu mengganggu cerita.
Biodata Hikmat Darmawan:
Lahir: Bandung, 22 Mei 1970
Profesi: Penulis, pengamat film, produser film
Pendiri: Komunitas Musyawarah Burung (2000), Akademi Samali (2005), rumahfilm.com (2007)