Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan tidak ada kata oplosan dalam surat dakwaan terkait kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS periode.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Anang Supriatna menyatakan bahwa istilah oplosan memang tidak ada dalam kasus Pertamina itu. Sebab, yang ada hanya istilah blending.
“Jadi memang tidak ada istilah oplosan sekarang sebetulnya, kan blending-an,” ujar Anang di Kejagung Rabu (10/10/2025).
Dia menjelaskan blending itu memang istilah yang lumrah dalam industri perminyakan. Namun, dalam kasus tata kelola minyak ini justru disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan.
Dengan demikian, praktik culas tersebut malah mengakibatkan kerugian negara. “Ibaratnya blending-an dari RON 88 atau RON 92 yang memang dijual dengan harga di bawah, ya kan di situ. Di situ kan ada, dan dia termasuk ya yang diuntungkan, ada diperlakukan istimewa, itu saja,” pungkas Anang.
Sekadar informasi, berdasarkan surat dakwaan terhadap terdakwa eks Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan terdapat penyelewengan formula harga jual eceran (HJE) yang tidak mencerminkan kondisi pasar.
Dugaan manipulasi HJE itu dilakukan agar kompensasi yang diterima Pertamina menjadi lebih besar dari seharusnya. Adapun, blending ini dilakukan dengan pencampuran High Octane Mogas Component (HOMC-RON minimal 92) dan Naptha dengan fraksi formula blending tertentu.
Formula blending RON 92 dan Naphta tersebut juga digunakan oleh PT Pertamina baik dalam penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Alpha untuk impor Pertalite RON 90 sejak tahun 2021. Formula itu dilakukan melalui proses produksi Pertalite RON 90 di kilang PT Pertamina.
Padahal, pencampuran terbaik dari komponen yang memiliki harga publikasi untuk menghasilkan RON 90 yang sesuai dengan spesifikasi Kementerian ESDM adalah terdiri dari 8,90% Naphta RON 72 ditambah dengan 91,10% RON 92.
Dengan menggunakan formula campuran tersebut, kompensasi yang harus dibayarkan Pemerintah menjadi lebih rendah sebesar Rp13,1 triliun dibandingkan dengan kompensasi menggunakan HJE saat ini untuk tahun 2022-2023.
“Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kerugian negara sebesar Rp13.118.191.145.790,40 yang merupakan pembayaran oleh pemerintah yang lebih besar dari seharusnya atas kompensasi Pertalite selama tahun 2022-2023,” dikutip dalam surat dakwaan Riva, Jumat (10/10/2025).