TEMPO.CO, Jakarta – Penulis Sasti Gotama mengatakan isi buku kumpulan cerpen Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-kupu bersumber dari persoalan kekerasan di sekitar masyarakat. Di antaranya kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berbasis gender.
“Kekerasan dalam institusi keagamaan,” kata Sasti, selepas menerima penghargaan untuk buku Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-kupu, kepada Tempo, Sabtu malam, 28 Juni 2025.
Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-kupu menjadi pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa Kategori Kumpulan Cerpen. Buku terbitan Mizan, 2024, itu berisi 20 cerita pendek. Melalui buku itu, Sasti mengajukan berbagai pertanyaan “bagaimana menjadi manusia?”
Bagaimana perasaan seorang manusia saat membunuh gajah kesayangannya. Apa yang harus dilakukan jika orang yang disayang mendapat kekerasan berulang dari pasangan. Seperti tertulis di sampul belakang buku itu. “Bagaimana jadinya jika pelaku kekerasan seksual tak diadili hanya karena ia pemimpin sekte akhir zaman yang memiliki kesaktian?“
Dikemas Lebih Segar dan Baru
Meski karya itu muncul dari kenyataan di sekitar, Sasti berusaha mengemasnya dengan pesan yang lebih segar dan baru, agar pesan tetap tersampaikan. “Tapi ada unsur yang bisa diterima banyak orang,” kata penulis kelahiran Malang, Jawa Timur, itu.
Sasti menjelaskan cara penyampaian yang baru dan segar bisa mendorong orang atau pembaca memikirkan ulang persoalan kekerasan yang muncul. Isi cerita pendek dalam buku itu ditulis dengan berbagai sudut pandang, seperti kekerasan gender.
“Itu kan bisa dilihat dari berbagai sisi yang jarang diulik, dan di situ saya sampaikan lewat cerita,” kata Sasti, yang sebelumnya menerbitkan kumpulan cerpen Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam (2020). Buku ini masuk lima besar Buku Sastra Pilihan Tempo 2020.
Masalah Kemanusiaan
Namun dia, menjelaskan dari berbagai kekerasan yang diungkap secara puitik di dalam Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-kupu merupakan benang merah dari berbagai masalah kemanusiaan. Dari situ, penulis mengajukan pertanyaan filosofis, seperti bagaimana arti menjadi manusia.
Sebab, keberadaan manusia tidak murni hitam-putih. Karakter manusia hampir tak jelas atau dalam penjelasannya abu-abu. “Sisi abu-abu itu sering kita pertentangkan, apakah itu sesuai moral?” ujar Sasti, pemenang I Hadiah Sastra “Rasa” 2022, itu.
Kumpulan cerpen Sasti ini menggeser empat buku lainnya dalam Kategori Kumpulan Cerpen yang masuk daftar pendek. Karya-karya itu, Iblis Tanah Suci karya Arianto Adipurwanto, Keluarga Oriente (Armin Bell), Mei Salon (Iin Farliani), dan Musik Akhir Zaman (Kiki Sulistyo).
Ketua Dewan Juri Kusala Sastra Khatulistiwa Djoko Saryono mengatakan, penghargaan karya sastra ini difokuskan pada tiga hal. Pertama, menunjukkan pengarahan kerja kreativitas sastrawan Indonesia. Kedua, pengembangan potensi estetis dalam penggunaan Bahasa Indonesia. Ketiga, perluasan kemungkinan wilayah pertemuan antara imajinasi dan realitas.
Sekitar 280 karya sastra yang terdiri dari kumpulan cerpen, novel, dan kumpulan puisi diikutsertakan dalam Kusala Sastra Khatulistiwa 2025. “Saya kira ini taman kesusastraan yang sedang tumbuh dan ditumbuhkan oleh Kusala Sastra Khatulistiwa,” ucap Djoko.
Pilihan Editor: Tiga Buku Pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa

