FESTIVAL Bedhayan kembali digelar di Gedung Kesenian Jakarta pada Sabtu, 9 Agustus 2025 dengan semangat baru: membawa seni tari klasik Jawa lebih dekat ke hati generasi muda. Mengusung tajuk Pasca Utsava Bedhayan, festival kali ini memadukan penampilan pelestarian dan pengembangan, melibatkan penari berusia 17 hingga 70 tahun dari berbagai komunitas.
Penyelenggara berharap kemasan yang lebih menghibur ini akan membuat Bedhayan mudah dikenali dan dicintai, mengikuti jejak keberhasilan budaya populer yang mampu menjangkau khalayak luas.
Pilihan Editor: Tarian Rianto dalam Pentas Kolosal Tari Lengger Banyumas
Misi Menggaet Generasi Muda Lewat Festival Bedhayan
Fenomena K-pop membuktikan bahwa warisan budaya dapat dibungkus dengan format modern dan memikat, tanpa menghilangkan identitasnya. Lagu-lagu, koreografi, dan visual yang konsisten membuat K-pop menjadi simbol budaya Korea yang diakui dan dilestarikan dengan serius, bahkan oleh pemerintah dan masyarakatnya.
Semangat inilah yang ingin diadaptasi oleh Festival Bedhayan 2025. Mengangkat seni tari klasik Jawa yang sarat nilai filosofi dan estetika, penyelenggara ingin menghilangkan jarak antara Bedhayan dan generasi muda yang mungkin merasa seni ini terlalu “sakral” atau jauh dari keseharian mereka.
Sari, Ketua Pelaksana Festival Bedhayan 2025, menegaskan pentingnya langkah awal yang sederhana, yaitu membuat seni itu terlebih dahulu menarik di mata anak muda. “Contohnya K-pop, satu kata kunci utama mungkin dimulai dengan ‘menarik’. Kalau Bedhayan bisa dibalut dalam bentuk yang entertaining, kenapa enggak?” ujar Sari. Menurutnya, mungkin generasi muda bukannya tidak mau mengenal atau bukannya tidak menyukai budaya sendiri, tapi bisa jadi karena mereka belum tahu dan mengenal. Jadi, perlu mulai dengan langkah diperkenalkan terlebih dulu.
Tahun ini, festival tidak hanya menampilkan bentuk pelestarian tari Bedhayan, tetapi juga kreasi pengembangan yang memberi ruang bagi inovasi. Dengan melibatkan penari berusia 17 hingga 70 tahun, termasuk jumlah penari laki-laki yang lebih banyak dari tahun sebelumnya, festival ini mencoba memadukan penampilan budaya yang bisa lebih dekat dengan berbagai generasi.
Menumbuhkan Apresiasi dan Kesadaran Budaya di Kalangan Muda
Bagi Aylawati Sarwono, ketua umum Festival Bedhayan, tantangan terbesar pelestarian budaya bukan hanya dari arus globalisasi, tetapi juga dari sikap masyarakat sendiri. “Kadang-kadang kita take it for granted. Saking kaya, saking banyaknya budaya, kadang-kadang kita sudah enggak appreciate, tapi orang asing yang melihat keindahan dan kedalamannya itu mereka benar-benar bisa appreciate,” ungkapnya.
Ia menyoroti perbedaan masyarakat Indonesia dengan negara yang sudah lebih maju yang dinilainya memiliki ekosistem apresiasi budaya lebih mapan. “Kesenian kan memang kebutuhan tersiar yang boleh dibilang sangat-sangat mapan. Tapi dengan kemajuan negara ini, saya berharap kecintaan dan kesadaran akan pentingnya menghargai dan merasakan budaya sendiri itu semakin tumbuh,” ujarnya.
Momen keterlibatan anak-anak muda di panggung Festival Bedhayan 2025 memberi secercah harapan. Bagi Aylawati, hadirnya generasi baru yang mau belajar dan tampil membawakan Bedhayan adalah bukti bahwa dengan kemasan yang tepat, seni ini bisa menembus lintas usia. “Saya tadi terharu juga dengan anak-anak muda itu ikut menari,” ujarnya.
Dengan strategi mendekati generasi muda melalui format yang menghibur, Festival Bedhayan berharap tari klasik Jawa ini tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang, menjadi bagian identitas yang dibanggakan.